Tangan yang Menggenggam dan Terbuka
Suatu ketika waktu
ngaji kitab Kaifiyatus
Sholat,
karangan HM. Masykuri Abdurrahman alumni Pondok Pesantren Sidogiri,
Bab Adzan dan Iqomah oleh Ustadz Fuad di Musholla Pondok Putri
Darussalam, sambil terkantuk-kantuk saya menyimak kajian, ustadz
menjelaskan bahwa bayi yang baru lahir wajib diadzani di telinga
kanannya dan diiqomahi di telinga kirinya sebelum dibisiki oleh
setan. Ustadz bahkan bercerita di luar tema kajian, bayi yang baru
lahir tangannya menggenggam sedangkan orang yang sudah mati tangannya
tidak menggenggam dan disedekapkan seperti halnya orang shalat.
Tangan bayi baru
lahir yang menggenggam memberi isyarat bahwa begitulah sifat manusia
yang seakan ingin menggenggam dunia, menginginkan sesuatu yang belum
pernah dimilikinya, tidak pernah puas dengan apa yang sudah
diraihnya, meski telah banyak nikmat yang didapatkannya masih ingin
meraih dan mendapatkan yang lainnya. Jadi tidak salah ketika dalam
Al-Qur’an terdapat firman Allah “Qoliilammaatasykuruun”
yang artinya “Sedikit
sekali manusia yang bersukur”.
Sedangkan tangan orang yang meninggal tidak menggenggam menandakan
bahwa manusia yang mati tidak membawa barang apapun, tidak membawa
hartanya yang telah susah payah dikumpulkan selama hidupnya.
Dari cerita ini
dapat diambil hikmah bahwa jadilah kita manusia yang sangat pandai
bersyukur, sekecil apapun nikmat yang Tuhan berikan akan menjadi
sangat besar jika kita pandai mensyukurinya. Karena orang yang pandai
bersyukur akan selalu merasa berkecukupan dalam keadaan apapun,
sebaliknya meskipun hartanya melimpah ruah tapi tidak ada rasa syukur
yang terpatri dalam hatinya maka hartanya tidak akan berarti apapun
dan dalam hidupnya masih saja selalu merasa kekurangan.
Hikmah lain yang
dapat diambil juga bahwa jangan terlalu cinta duniawi karena harta
dunia tidak akan dibawa mati. Seringkali kita menyadari dan paham
namun sulit sekali mengaplikasikannya dalam kenyataan, dalam hati
kita merasa bahwa kita tidak boleh cinta dunia tapi secara tidak
sadar prilaku kita masih tidak bisa lepas untuk cenderung pada dunia.
Contoh kecilnya,
bagi yang punya kebiasaan merokok setiap hari anggap saja
menghabiskan satu pcs rokok yang kira-kira harganya sepuluh ribu
rupiah (saya tidak tahu pasti). Jika sebulan maka untuk rokok saja
menghabiskan tiga ratus ribu, lalu coba kita bandingkan dengan
sedekah yang sudah dilakukan, anggap saja setiap hari terbiasa
bersedekah seribu rupiah (biasanya) itupun kalau setiap hari. Lalu
bagaimana yang kalau sedekahnya hanya waktu jum’atan saja, dan
itupun saya yakin jarang sekali atau bahkan tidak ada yang sedekahnya
sampai lima ribu, paling paling juga seribu. Jadi sebulan hanya
bersedekah empat ribu Apalagi yang tidak pernah sedekah. Bandingkan
dengan berapa banyak yang dihabiskan untuk sekedar merokok, membakar
uang dan memberi kenikmatan sesaat yang bahkan tidak ada manfaatnya.
Apa ini yang ngaku-ngaku bukan orang yang lebih cinta dunia.
Ada yang bilang
bahwa dunia dan akhirat harus seimbang, dengan berdalih “Daripada
tidak sedekah sama sekali, yang penting kan niatnya ikhlas. Daripada
sedekah banyak-banyak juga tapi tidak ikhlas”, kalau beli rokok
bisa sampai tiga ratus ribu dan itu dilakukan dengan niat yang ikhlas
sedangkan sedekahnya empat ribu, mau seimbang darimana? Bahkan ada
salah satu teman saya yang menulis di blognya bahwa Dunia - Akhirat
harus seimbang itu salah. Harusnya lebih berat dan cenderung akhirat
karena dunia hanya sementara sedangkan di akhirat akan kekal. Karena
di dunia kita hanya mempersiapkan bekal untuk hidup kekal di akhirat
maka dunia - akhirat tidak boleh seimbang, harus lebih cenderung
akhiratnya.
Menasihati orang
lain memang mudah, tapi bagaimana diri kita sendiri juga bisa
menerima nasihat yang kita berikan pada orang lain itulah yang sulit.
Karena untuk menasihati orang lain harusnya diawali dengan menasihati
diri sendiri. Semoga bermanfaat.
Ponpes Putri
Darussalam Jember
10 September 2012
Ba’da Ngaji
Kaifiyatus Sholat
Komentar
Posting Komentar