Surabaya Kini
Sekitar dua tahun lalu,
saya pernah menulis tentang kota Jember -sayang sekali saya tidak punya
arsipnya karena waktu itu belum punya laptop- tentang bagaimana keadaan kota
Jember 5-10 tahun ke depan. Saya berasumsi bahwa 10 tahun kedepan Jember akan
sama seperti Jakarta hari ini macetnya, karena pertambahan penduduk -mahasiswa
baru- setiap tahunnya sekitar kurang lebih 7ribu jiwa yang notabene pada bawa
motor pribadi.
Kira-kira dua minggu yang
lalu kebetulan saya sedang melakukan perjalanan ke Surabaya, kota pahlawan,
yang boleh saya bilang kota metropolis setelah Jakarta. Sama halnya dengan
asumsi saya tentang Jember, tak jauh beda dengan apa yang akan terjadi 5-10
tahun kedepan di Surabaya. Seingat saya, dulu -sekitar 10 tahun yang lalu-
hanya membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam dari Situbondo ke Surabaya dengan Bus Antarkota
-beda lagi kalau kereta- tapi sekarang hampir 7 jam perjalanan dari Situbondo
sampai ke Terminal Purabaya, Surabaya. Saya berangkat jam 5 pagi dari rumah dan
sekitar jam 5.20 bus berangkat dari terminal Situbondo, jam 12 tepat baru
sampai di Terminal purabaya. Sempat terkena macet sebelum porong, yang menjadi
perhatian saya ketika macet, dengan suhu udara yang begitu panas, banyak debu,
menjadi pelengkap derita kemacetan waktu itu (lebayy :D) sambil melihat
berbagai merk dan jenis mobil yang ada disana. Melihat keadaan yang begitu nih,
sempat terlintas di pikiran saya jadi tidak ingin tinggal atau menetap di
Surabaya (untung pacar saya bukan orang Surabaya, hehe) bahkan sempat juga
terlintas tidak ingin punya mobil kalaupun harus menetap di kota besar seperti
Surabaya (sapa tau jodohnya sama orang yang tinggal di Surabaya ^^). Mending
naek motor yang bisa nyelip-nyelip kalo lagi macet. Kebayang pengen tinggal di
desa aja yang masih banyak sawah terhampar, hijau dan sejuk. Punya mobil gag
masalah, gag kira terjebak macet. Malamnya sempat berjalan-jalan sebentar
sambil ngobrol-ngobrol dengan teman saya, kalo lagi di lampu merah biasanya dia
gag nunggu sampek lampu hijau baru jalan, tapi sudah hafal dengan celah
pergantian lampu setiap arah jalan karena lampu merahnya itu luama sekali
(emang dasarnya orangnya gag sabaran --‘).
Sepanjang perjalanan
dari Situbondo yang saya amati, ada beberapa -lebih dari 3- proyek pembangunan
perumahan atau cluster-cluster baru. Sawah-sawah semakin lama semakin berubah
menjadi perumahan. Rasa-rasanya percuma kuliah di fakultas pertanian, la kok
lahannya sudah dibangun menjadi perumahan atau dihapus aja jurusan teknik
arsitektur jadi gag banyak pembangunan baru. Saya berpikir sederhana saja,
sebagai orang awam melihat keadaan kota yang carut-marut.
Komentar
Posting Komentar